Minggu, 29 Agustus 2010

Pak Guru


Dakkk !!! Debu kapur tulis berhamburan dari penghapus yang terlempar ke papan hitam di depan. “Taruh mana otak kalian…Perhatikan baik-baik, belum satu pun tulisan yang dihapus…Pikir !!” Wajah tegang dan kemerahan menahan gerah menanti dengan harap-harap cemas, siapa yang akan ditunjuk menjawab soal aljabar itu. Pemandangan yang sudah tak asing lagi dan hampir tiap hari tersaji.
Banyak yang bilang, hanya melihat perawakan dan wajahnya saja sudah membuat runtuh ketegaran hati anak murid. “Cik, kenapa anak bungsumu masih saja mau les dengan masku ?” tanya bulik saat bertemu dengan salah satu pemilik toko di Pasar Kawak. “Ya pastilah, mbak…meskipun terkenal galaknya bukan main, anakku yakin berhasil kalau les dengan mas sampeyan. Buktinya sekarang anak-anakku yang lain jadi bisa masuk ke SMA dan Universitas terkenal..”
Badan tinggi tegap dengan kulit gelap itu mengayuh sepeda ontel tuanya tiap hari. Jarak 3 kilo harus ditempuhnya untuk mendapatkan struk gaji di tiap akhir bulan yang terkadang memang hanya betul-betul tinggal struk gaji saja tanpa ada lagi lembar kertas berharga lainnya. Pengabdian ? Entah lah… Yang pasti bapak masih suka cerita tentang bekas murid-muridnya dengan penuh kebanggaan.
Meringkuk dan menggigil kedinginan menahan demam tinggi di pembaringan sepulang dari perjalanan luar kota. Hanya diam tanpa bicara sepatah katapun dengan anak-anaknya yang ribut mencari oleh-oleh. “Bapakmu kecewa, le…tersinggung disepelekan orang, kalau punya anak banyak jangan muluk-muluk sekolahkan tinggi-tinggi, apalagi hanya andalkan gaji guru saja.” Ternyata bapak pergi keluar kota cari utangan, buat bayar sekolah anak-anaknya. Lama juga bapak itu terbaring sakit, entah meratapi nasibnya atau menangisi orang yang dia anggap memiliki intelektual tinggi tapi ternyata berpikiran picik.
Bapak memang tidak bisa jadi orang kaya, tidak pernah tahu caranya mencari uang selain hanya lewat “tandatangan struk gaji” saja. Banyak orang mau beri uang tanda terima kasih, tapi semua itu ditaruhnya di sekolahan. Ibu bilang bapak orangnya kaku, kalau sudah punya prinsip akan sulit mengubahnya. Banyak yang sebal dengan sifatnya karena dengan kekakuannya itu sering membuat sulit orang lain. Diantara diamnya bapak, terselip kecerewetan yang luar biasa meski itu hanya gara-gara remah roti kering yang jatuh di lantai rumahnya. Rumah KPR kebanggaannya yang masih jauh dari kata lunas dan nyaris tiap bulan terancam ditempeli stiker merah dari bank.

Bapak memang tidak selamanya mengayuh sepeda ontel tua hitamnya. Pernah merasakan naik motor Honda GL 100 tiap hari pulang pergi dari kota menuju pegunungan selatan yang berjarak tiga jam perjalanan, pernah juga merasakan naik sedan Holden Torana buatan tahun 1972 meski hanya sebentar karena titipan orang, pernah juga merasakan pulang-pergi naik bus dari kota menuju kawasan hutan jati di penghujung karirnya sebagai Kepala Sekolah SMP Negeri Kabupaten.
Sekian waktu setelah mengakhiri perjalanan dengan “seragam safari”nya, tubuhnya sudah semakin rapuh termakan usia. Ketegapannya sudah jauh berkurang, rambutnya pun kian memutih. “Ikut belasungkawa ya, dik…saya dulu muridnya bapak,” salam takzim seorang paruh baya yang sudah mulai beruban pula rambutnya.

0 komentar:

Posting Komentar